Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rasa Takut Akan Masa Depan Setelah Lulus Kuliah – Sarjana S1

Rasa Takut Akan Masa Depan Setelah Lulus Kuliah – Sarjana S1

Akhirnya Saya Memulainya lagi”

Hari kelulusan dimana orang-orang merasakan sensasi baru untuk menempuh perjalanan baru, di waktu itu para mahasiswa berkerumun berbaju hitam dan memakai toga.

Saya tidak percaya bisa sampai sejauh ini jadi seorang sarjananawan S1, saya termasuk dalam kategori mahasiswa terlama dengan penyelesaian studi 5 tahun 2 bulanan.

Hari itu merupakan tahun covid-19 masih ada, pembatasan interaksi langsung di batasi, tiap orang wajib melakukan penyuntikan untuk menghindari wabah covid-19.

Demi hadir di lolos pemiriksaan acara wisudah saya ikut program penyuntikan meski takut di suntik!

Tapi, saya terheran-heran pengumuman yang udah disampaikan bakal ada pemeriksaan dan penahanan jika tidak memenuhi syarat tidak boleh masuk podium hotel claro.

Saya mengerutkan kening dan kesal karna semua hanya sekerdar formalitas belakang, orang-orang pada berkerumum sana sini, para petugas abai aja dengan aturan kampus untuk pemeriksaan surat keterangan sehat “apa mungkin tidak pernah ada konfirmasi, tapi yah! Sudahlah. Yang penting saya wisudah hari ini”.

kerabat dan keluarga datang 200 km jauhnya untuk melihat saya menjadi sarjana, dari balik jubah dan toga saya pakai terkesimak dalam hati “saya nggak butuh wisudah, kalau bukan keluarga saya tetap di rumah saja”. Terkesan egois tapi, itulah bualan saya!

Acara wisudah segera di mulai, tiap wisudawan hanya boleh ditemani satu perwakilan keluarga untuk masuk hotel karna kursi terbatas, jadi mau nggak mau yang lain di luar, saya merasa sedih dan kesal karna kampus tidak memesan tempat berteduh yang layak untuk para kerabat dan keluarga yang datang jauh untuk acara wisudah anak mereka.

Ini di luar kehendak saya, mungkin juga satu dua hal pihak kampus tidak memberi layanan itu!

Acara pelaksanaa wisudah berlangsung cepat karna hanya berdiri sejenak di tempat ketika nama dan gelar kami disebutkan, tidak ada acara naik turun panggung dan salam-salaman antara penjabat kampus dengan para mahasiswa lulusan.

Ini seperti mencenklis daftar hadir kelas hehehe...

Setelah semua usai saya pun mencari-cari nenek saya karna dalam ruangan kami mesti dipisahkan pendamping dengan mahasiswa lulusan.

Tidak banyak bisa di ceritakan tentang susunan acara wisudah, ini tidak lebih seperti penyampaian ceramah motivasi dan menyanyikan lagu kebangsaan setelah itu selesai orang-orang bubar.

Dan selamat untuk diri saya sudah jadi sarjana dan satu-satunya dari keluarga menjadi lulusan sarjanawan. Dalam hati terbesik “apa gunannya saya lulus toh! Tidak ada kerjaan setelah ini”.

Meski begitu saya di luaran memesang mimik muka seolah-olah baik-baik saja, padahal dalam hati mendung, hari esok tidak ada kejelasan, masa depan suram.

Beberapa hari kemudian setelah acara wisudah di kota Makassar berlalu, saya pulkam untuk syukuran, budaya orang bugis suka acara syukuran.

Gambaran acara syukuran agak seperti kita lagi bersenang-senang merayakan acara makan-makan, pas saya di tanya nanti kerja apa jawabannya tidak tahu hehehee...

Seolah-olah merasa baru keluar penjara kampus, tapi kenyataannya hanya pindah lokasi penjara saja di tengah lautan lepas.

Konyolnya jadi seorang sarjana, apa yang saya cari selama ini di kampus, pulang malah kerja sawah, kebun dan empang (penakaran ikan), dari pegang pulpen sekarang pengang cangkul, ini tentunya bukan keinginan keluarga tapi ini adalah keinginan saya untuk membantu mereka sambil mencari lowongan pekerjaan dan mencari peluang.

Kumpul modal dulu baru jalan. Sarjana kembali ke titik nol, merasa akan langsung dapat pekerjaan yang diimpikan jawabannya “tidak”. 

Saya Paham dengan hal ini! Saya memutuskan bekerja dulu untuk keluarga. Sayangnya saya dilarang untuk tinggal berlalma-lama di kampung halaman. Alasannya sekolah saya bakalan akan hilang, orang tidak sekolah saja bisa kerja kayak gini. 

Entah rasa malu sanak keluarga atau saya perlu memperhatikan pekerjaan karna udah naik pangkat di strata lingkungan masyarakat.

Saya jadi tambah bingung jadinya kalau situasi kayak gini, saya merasa serba salah, masa depan saya tidak tentu arah. Ditolak untuk kumpul modal di kampung sendiri, apa boleh buat saya akan kembali ke kota lagi untuk mengundi nasib untuk kesekian kalinya.

Untungnya saya masih di beri izin untuk tinggal di rumah kerabat yang berlokasi di kota, hitung-hitung tidak bayar kontrakan lagi, dengan modal seadanya dan beberapa uang saku dari sanak keluarga saya pun kembali ke kota untuk mengundi nasib. Paling tidak banyak hal yang katanya bisa dilakukan di kota untuk menghasilkan uang.

Agak aneh setelah beberapa bulan saya balik lagi ke kota, kemarin seperti mimpi dan tiba-tiba saya terbangun dengan kenyataan hidup dan mulai merajut rencana masa depan, langkah pertama bagi kebanyakan orang akan langsung cari kerjaan. 

Saya sebaliknya! Saya masih mau nganggur dulu menikmati suasana wisudah dan lepas dari semua ikatan akan kenyataan yang belum siap saya hadapi.

Sudah ke sana sini jalan tak tentu arah dan saldo rekening kian hari semakin menipis menendakan bahaya akan segera datang, agak aneh saya masih saja santai-santai dan hidup dengan landai melihat orang-orang pontang-panting lamar pekerjaan dan kerja sana sini, di satu sisi saya penonton mereka.

Sampai pada batas darurat keuangan saya sisa belasan ribu di dompet dan saldo rekening sampai batas penarikan, saya pun berinisiatif untuk sekedar menghubungi keluarga dan sedikit menyinggung tentang masalah krisis isi dompet saya.

Karna alasan ingin mencari kerjaan, saya lagi-lagi mendapatkan pemasukan dari keluarga heehehee, kali ini saya akan cari kerja apapun akan saya kerjakan dengan serius. Jatuhlah saya menjadi seorang sales man, yap! Mereka yang keliling dari pintu ke pintu atau door to door untuk menawarkan produk dan layanan jasa.

Saya canggung dan merasa malu dengan pekerjaan ini, saya nggak bisa kebayang jika saya bertemu dengan kenalan dan inilah saya setelah lulus. Hidup tidak semanis kelihatannya!

Sebagai orang egois, gengsi dan agak keras kepala. Saya mudah sekali mengeluh tentang pekerjaan ini, udah panas-panasan dari pagi sampai sore saya dan senior keliling dari kota ke desa, jarang sekali ada terjual barang dan menerima kami bahkan saya tidak pernah mampu menjual satupun barang, dalam hati saya teriak “apa-apaan ini”.

Di selah-selah waktu istirahat di emperang mesjid saya mulai bergumang dengan senior di samping akan susahnya cari uang. Saya pun mulai kepikiran susahnya keluarga untuk mencari uang demi menghidupi saya di kota.

Rata-rata keuangan saya di topang keluarga atau malah semuanya, hidup tidak seindah perjalanan bertaburan bunga-bunga hari kelulusan, hidup di masa depan bertaburan duri keringan, luka dan tangis yang harus di terima.

Terkesan dramatis, begitulah kenyataanya yang sukar saya telan, saya suka sekali keluar masuk tempat kerja, tidak cukup sebulan saya keluar tempat kerja, saya risih jika di suruh kiri kanan, hidup di bawah telunjuk memang tidak enak. Tidur lagi nikmat-nikmatnya malah dibangungkan, makan dengan santai harus buru-buru karna waktu, pulang kemalaman dan saya benar-benar lelah dengan semua ini.

Di benak saya kepikiran untuk balik kampung alasanya sudah jelas bahwa saya lelah di dengan semua pekerjaan di kota...

mungkin ini adalah kepetusan krusial yang saya ambil di saat emosi tidak stabil. Saya berharap pilihan ini tidak salah. Akhirnya saya balik sekali lagi ke kampung dengan tangan kosong yang penuh kisah suram.

Dalam hati saya ucapakan selamat datang kampung halaman nan dirindukan, di kampung halaman saya seringkali di-diami oleh keluarga dan sempat juga di tanya beberapa orang, tetangga serta kerabat. “Di kota kamu kerja apa, saya tersenyum dan terdiam kemudian beranjak menghindar”.

Kapan nikah! 

Aduh apa-apaan ini, kerja saja tidak beres apalagi mikirin anak orang. Saya meresa lelah secara emosional di kampung, saya bingung hidup ini mau dilarikan ke mana.

Bingung dengan keadaan mungkin lebih baik main sosial media dan lupakan semua, tetap saja masih terbayang-bayang dan dihantui tumpukan pertanyaan-pertanyaan masa depan.

Tidak ada jawaban yang benar dan salah di masa depan saya, tidak sama dengan pelajaran sekolah dan kampus ada jawaban benar dan salah, di dunia nyata ada jawaban di antara benar dan salah. Sekarang saya berada di pilihan itu – antara benar dan salah.

Aksi apalagi yang harus saya lakukan untuk masa depan, apakah saya harus balik ke kota untuk mencoba beradu di sana. 

Udara sejuk kembali berhembus untuk kesekian kalinya dalam hidup gersang ini, rupanya akun pengantaran online saya masih bisa di aktifkan, meski udah lama nggak ke pake di masa kuliah. Hanya butuh nomor ponsel aktif, email aktif, riwayat terakhir, skck kepolisian dan surat keterangan sehat untuk kembali di pekerjaan jasa pengantaran online. Pemasukan saya rasa cukup, dilihat dari riwayat kemarin saya kerja gini pas masa kuliah untuk memenuhi belanja bebas dan sekarang menjadi penopang kehidupan saya untuk hidup di kota.

Dengan modal kelengkapan berkas dan rasa percaya diri baru, saya putuskan untuk ke kota dan sesampai di kota sibuk urus sana-sana sini endingnya saya berhasil aktif.

Lembaran baru pun terbuka untuk merintis masa depan cerah dan target pertama yaitu ingin mandiri tidak minta uang orang tua ataupun kerabat, dengan komitment ini saya berani berkata di telpon saya sudah tidak perlu kiriman uang lagi dan saya udah punya pekerjaan dalam hati “pemasukan belum stabil” walau kerjaan seperti ini, tapi saya merasa sudah jauh lebih baik daripada kerjaan sebelum-sebelumnya.

Waktu bisa saya atur, aplikasi bisa dimatikan jika tidak ingin kerja dan aplikasi dihidupkan jika butuh uang heheee...

kebebasan mulai berada ditangan, perhempitan waktu lowang harus dimanfaatkan untuk merancang masa depan dari tempat saya lewatkan, sudah ada satu pijakan untuk pijakan berikutnya...

dua tiga tahun lamanya saya baru bisa sampai di titik ini, tapi itulah satu kisah hidup saya setelah lulus jadi sarjanawan, nganggur, cari kerja, kerja, keluar masuk bidang pekerjaan, balik kampung lagi, ke kota lagi dan telah mendapat pekerjaan yang bisa menopang hidup saya di kota dengan beberapa kebebasan untuk membuka peluang baru.

Terima Kasih!

Posting Komentar untuk "Rasa Takut Akan Masa Depan Setelah Lulus Kuliah – Sarjana S1"